Derai angin membawa debu dan air mata, menyeruak sepanjang
hamparan Palestina, ketukan dan letupan memantul di setiap hati yang
kedinginan, takut menjalari tubuh dan otot bagi yang mendengar. Ancaman
merajai. Di setiap sudut bangunan terdengar rintih kesakitan.
Pagi itu, pagi yang buta. Seorang gadis kecil berdiri mematung di antara puing reruntuhan, kerudung hijaunya yang compang-camping bekibar oleh hembusan angin. Tangan mungilnya menggenggam debu dan kerikil. Bola matanya hitam bulat melirik dalam-dalam, sungguh polos tatapan anak kecil berusia 5 tahun itu, bahkan untuk memandang lukisan mengerikan di hadapannya ia hanya bisa mematung penuh kebingungan. Darah yang merembas di setiap patahan bangunan, asap berbau amis menempel di udara, api kecil nyalanya ada di mana-mana, menyeruak segala letupan dan dan ranjau penakluk kehidupan.
Gadis mungil itu masih berdiri kokoh di ujung sana, tepat di atas rumahnya yang menyatu tanah, semalam ia masih ingat betul sang Ummi menyisiri rambut panjang, dan menjahit kerudung hijau kecil kesayangannya. Kerudung pemberian kak Ashrun yang pergi meninggalkan rumah dan tak pernah lagi muncul di hadapannya.
“Kakak mau pergi berjuang bersama Allah, Sofia di rumah saja dan jagain Ummi yaa!” kata kakaknya sebelum melangkah ke luar rumah dan tidak pernah kembali lagi.
“Ummi kenapa kak Ashrun ndak pernah pulang, padahal Sofia kangen ummi!” rengek gadis itu pada perempuan tua yang menyisir lembut rambunnya.
“Kak Ashrun bersama Allah sayang, dan juga bersama teman-temannya di HAMAS.” Jelas umminya menahan isak.
“HAMAS itu apa ummi?”
“HAMAS itu para pahlawan kita.”
“hmm.., berarti HAMAS itu akan menang kan Ummi?” Tanya Sofia penuh semangat, ia bangga mengetahui kakaknya adalah seorang pahlawan.
“Tentu sayang, mereka telah bersama Allah sekarang, karena mereka menang.” Jelas umminya parau.
Sesaat umminya mengajak ia masuk ke dalam gudang sempit di bawah rumah. Sofia menurut lalu masuk sambil mengenakan kerudung hijaunya. Dilihatnya sang ummi menitikkan air mata.
“Ummi kenapa menangis? Trus kenapa Sofia disuruh tidur di sini? Di sini kan gelap, Sofia takut”. Tanya gadis itu sambil menarik lengan umminya. Sedang perempuan paruh baya itu sadar betul inilah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan anak gadisnya. Sofia cukup cerdas untuk menanyakan segalanya, tapi ia begitu kecil untuk menerima kejahatan ini.
“Ummi akan kembali sayang dan akan tidur bersama kamu di sini, ummi cuman mau membawa makanan. Ingat Sofia anakku, jangan pernah keluar dari sini apapun yang terjadi, kamu mengerti sayang?.” Umminya menggenggam hangat bahunya, tatapan tajam sang ummi menumbuhkan keyakinannya untuk tidak keluar dari gudang itu.
Tak lama ia dalam kesendirian, di tempat yang pengap dan gelap. Tiba-tiba terasa tanah bergetar hebat, dan langit memuntahkan segala kebisingan yang begitu kuat. Kuat terasa kesakitannya. Letusan-letusan begitu terasa di sekitarnya menghantam palung jiwa dan menerobos ketakutan yang begitu mencekam.
Gadis itu enggan bersuara, dilihatnya hanya kegelapan yang tertutup. Sungguh ia ketakutan, tapi ia tak boleh keluar. Selang kemudian kantuk menjadi penenang. Menutup kelopak mata dan membuat layu bulu matanya yang panjang hitam lebat. Gadis itu terbenam terbawa mimpi, begitu tenang, begitu damai, suara bising dan letusan di luar sana tinggallah terdengar gemericik air yang begitu meninabobokkan.
Hingga pagi itu menjemput, gadis itu berdiri dalam kebingungan yang sangat. Rumah dan segala di sekitarnya telah hilang rupa. Palestinya kehilangan wajah kedamaiannya. Kampungnya telah disapu debu, para tentara itu pelakunya. Merekalah sosok mengerikan yang menggandeng senapan dan senjata, membunuh saudara dan teman-temanya dengan kesetanan, aneh betul pikir gadis kecil itu, dari sepucuk rumput yang bertasbih, batu yang berdo’a yang dilihatnya hanyalah hamparan penderitaan dan jeritan kemarahan. “Isr*el terkutuk!” gadis kecil itu biasa medengar umpatan ini dari tetangganya.
Intifadah meleburkan nauansa nyeri bagi setiap jiwa, terror menakutkan datang menancap jelas dalam ketiba-tibaan. Pesawat berdempet melempar maut, bom meledak dan membumihanguskan, segala bentuk kecongkakan dan tawa kebahagiaan, terlihat jelas menakutkan dan jelek sejadi-jadinya. Di antara kaki dan tangan iblis yang mengengkat senjata, Nampak jelek rupanya sejelek binatang kehausan, sungguh celaka.
Lalu jihad bergema, nyaring senyaring paduan adzan di seluruh dunia, gaung mengobarkan perlawanan dan perjuangan suci. Demi Palestina! Segala yang merapat dalam barisan ini adalah para pahlawan tangguh yang rindu kebebasan. Mereka bertarung untuk dua alasan kebebasan. Kebebasan untuk Palestina dan untuk menghadap Allah. Dunia menangis, langit terharu, pohon menjerit, berarak lautan meringis kesakitan, darah para syuhada mengental tertanan abadi di bawah tanah. Tempat asal setiap manusia.
Gadis itu berjalan menyeret kaki kecilnya yang memar, ditilik setiap rongsokan hasil kerja para kaki tangan setan, dilihatnya wajah-wajah yang tak asing terdampar kaku seluruhnya. Tak ada kata dan desahan tanda kehidupan di sana. Gadis itu mendekat pada sekerat tembok rusak terbongkah, diintipnya dengan hati-hati sosok yang paling dikenalnya sepanjang hidupnya, sosok yang menjahit kerudung hijaunya semalam, sosok yang dengannya ia berjanji untuk tidak keluar dan ia menepati, tapi sosok itu tidak menepati janjinya untuk kembali. Itulah sosok umminya yang masih terasa hangat kecupannya semalam.
Sofia berjongkok di sampingnya ditimang-timang dan diusap jilbab perempuan itu. Umminya terbaring kaku seperti wajah-wajah yang dilihatnya di sepanjang puing-puing. Umminya telah tiada, lengan tangannya pun telah hilang, kepalanya pecah dan kakinya remuk. Nanar gadis itu menatap kelu. Air matanya jatuh. Rintik hujan bercampur keringat bercucuran. Asap menggumpal beradu hujan menyebar, langit bersedih, jutaan air mata berlinang.
Sofia mendekat dan mendekap kepala umminya. Bibir mungilnya berbisik kecil di telinga sang ummi, dalam desahan nafas tersengal, dalam kerinduan yang mengepal. Semua wajah itu begitu dirindukannya, wajah kak Ashrun, wajah Abi dan ummi. Mereka semua telah menang dan bersama Allah.
“Ummi, Uhibbukifillah!” bisiknya.
Cerpen Karangan: Rezky Arnindi
Blog: coretansiput.blogspot.com
Pagi itu, pagi yang buta. Seorang gadis kecil berdiri mematung di antara puing reruntuhan, kerudung hijaunya yang compang-camping bekibar oleh hembusan angin. Tangan mungilnya menggenggam debu dan kerikil. Bola matanya hitam bulat melirik dalam-dalam, sungguh polos tatapan anak kecil berusia 5 tahun itu, bahkan untuk memandang lukisan mengerikan di hadapannya ia hanya bisa mematung penuh kebingungan. Darah yang merembas di setiap patahan bangunan, asap berbau amis menempel di udara, api kecil nyalanya ada di mana-mana, menyeruak segala letupan dan dan ranjau penakluk kehidupan.
Gadis mungil itu masih berdiri kokoh di ujung sana, tepat di atas rumahnya yang menyatu tanah, semalam ia masih ingat betul sang Ummi menyisiri rambut panjang, dan menjahit kerudung hijau kecil kesayangannya. Kerudung pemberian kak Ashrun yang pergi meninggalkan rumah dan tak pernah lagi muncul di hadapannya.
“Kakak mau pergi berjuang bersama Allah, Sofia di rumah saja dan jagain Ummi yaa!” kata kakaknya sebelum melangkah ke luar rumah dan tidak pernah kembali lagi.
“Ummi kenapa kak Ashrun ndak pernah pulang, padahal Sofia kangen ummi!” rengek gadis itu pada perempuan tua yang menyisir lembut rambunnya.
“Kak Ashrun bersama Allah sayang, dan juga bersama teman-temannya di HAMAS.” Jelas umminya menahan isak.
“HAMAS itu apa ummi?”
“HAMAS itu para pahlawan kita.”
“hmm.., berarti HAMAS itu akan menang kan Ummi?” Tanya Sofia penuh semangat, ia bangga mengetahui kakaknya adalah seorang pahlawan.
“Tentu sayang, mereka telah bersama Allah sekarang, karena mereka menang.” Jelas umminya parau.
Sesaat umminya mengajak ia masuk ke dalam gudang sempit di bawah rumah. Sofia menurut lalu masuk sambil mengenakan kerudung hijaunya. Dilihatnya sang ummi menitikkan air mata.
“Ummi kenapa menangis? Trus kenapa Sofia disuruh tidur di sini? Di sini kan gelap, Sofia takut”. Tanya gadis itu sambil menarik lengan umminya. Sedang perempuan paruh baya itu sadar betul inilah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan anak gadisnya. Sofia cukup cerdas untuk menanyakan segalanya, tapi ia begitu kecil untuk menerima kejahatan ini.
“Ummi akan kembali sayang dan akan tidur bersama kamu di sini, ummi cuman mau membawa makanan. Ingat Sofia anakku, jangan pernah keluar dari sini apapun yang terjadi, kamu mengerti sayang?.” Umminya menggenggam hangat bahunya, tatapan tajam sang ummi menumbuhkan keyakinannya untuk tidak keluar dari gudang itu.
Tak lama ia dalam kesendirian, di tempat yang pengap dan gelap. Tiba-tiba terasa tanah bergetar hebat, dan langit memuntahkan segala kebisingan yang begitu kuat. Kuat terasa kesakitannya. Letusan-letusan begitu terasa di sekitarnya menghantam palung jiwa dan menerobos ketakutan yang begitu mencekam.
Gadis itu enggan bersuara, dilihatnya hanya kegelapan yang tertutup. Sungguh ia ketakutan, tapi ia tak boleh keluar. Selang kemudian kantuk menjadi penenang. Menutup kelopak mata dan membuat layu bulu matanya yang panjang hitam lebat. Gadis itu terbenam terbawa mimpi, begitu tenang, begitu damai, suara bising dan letusan di luar sana tinggallah terdengar gemericik air yang begitu meninabobokkan.
Hingga pagi itu menjemput, gadis itu berdiri dalam kebingungan yang sangat. Rumah dan segala di sekitarnya telah hilang rupa. Palestinya kehilangan wajah kedamaiannya. Kampungnya telah disapu debu, para tentara itu pelakunya. Merekalah sosok mengerikan yang menggandeng senapan dan senjata, membunuh saudara dan teman-temanya dengan kesetanan, aneh betul pikir gadis kecil itu, dari sepucuk rumput yang bertasbih, batu yang berdo’a yang dilihatnya hanyalah hamparan penderitaan dan jeritan kemarahan. “Isr*el terkutuk!” gadis kecil itu biasa medengar umpatan ini dari tetangganya.
Intifadah meleburkan nauansa nyeri bagi setiap jiwa, terror menakutkan datang menancap jelas dalam ketiba-tibaan. Pesawat berdempet melempar maut, bom meledak dan membumihanguskan, segala bentuk kecongkakan dan tawa kebahagiaan, terlihat jelas menakutkan dan jelek sejadi-jadinya. Di antara kaki dan tangan iblis yang mengengkat senjata, Nampak jelek rupanya sejelek binatang kehausan, sungguh celaka.
Lalu jihad bergema, nyaring senyaring paduan adzan di seluruh dunia, gaung mengobarkan perlawanan dan perjuangan suci. Demi Palestina! Segala yang merapat dalam barisan ini adalah para pahlawan tangguh yang rindu kebebasan. Mereka bertarung untuk dua alasan kebebasan. Kebebasan untuk Palestina dan untuk menghadap Allah. Dunia menangis, langit terharu, pohon menjerit, berarak lautan meringis kesakitan, darah para syuhada mengental tertanan abadi di bawah tanah. Tempat asal setiap manusia.
Gadis itu berjalan menyeret kaki kecilnya yang memar, ditilik setiap rongsokan hasil kerja para kaki tangan setan, dilihatnya wajah-wajah yang tak asing terdampar kaku seluruhnya. Tak ada kata dan desahan tanda kehidupan di sana. Gadis itu mendekat pada sekerat tembok rusak terbongkah, diintipnya dengan hati-hati sosok yang paling dikenalnya sepanjang hidupnya, sosok yang menjahit kerudung hijaunya semalam, sosok yang dengannya ia berjanji untuk tidak keluar dan ia menepati, tapi sosok itu tidak menepati janjinya untuk kembali. Itulah sosok umminya yang masih terasa hangat kecupannya semalam.
Sofia berjongkok di sampingnya ditimang-timang dan diusap jilbab perempuan itu. Umminya terbaring kaku seperti wajah-wajah yang dilihatnya di sepanjang puing-puing. Umminya telah tiada, lengan tangannya pun telah hilang, kepalanya pecah dan kakinya remuk. Nanar gadis itu menatap kelu. Air matanya jatuh. Rintik hujan bercampur keringat bercucuran. Asap menggumpal beradu hujan menyebar, langit bersedih, jutaan air mata berlinang.
Sofia mendekat dan mendekap kepala umminya. Bibir mungilnya berbisik kecil di telinga sang ummi, dalam desahan nafas tersengal, dalam kerinduan yang mengepal. Semua wajah itu begitu dirindukannya, wajah kak Ashrun, wajah Abi dan ummi. Mereka semua telah menang dan bersama Allah.
“Ummi, Uhibbukifillah!” bisiknya.
Cerpen Karangan: Rezky Arnindi
Blog: coretansiput.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment